UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2009
TENTANG
PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa hakikat pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia;
b. bahwa pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan aspek kehidupan termasuk perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik ndonesia Tahun 1945;
c. bahwa penduduk sebagai modal dasar dan faktor dominan pembangunan harus menjadi titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan karena jumlah penduduk yang besar dengan kualitas rendah dan pertumbuhan yang cepat akan memperlambat tercapainya kondisi yang ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
d. bahwa keberhasilan dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk serta keluarga akan memperbaiki segala aspek dan dimensi pembangunan dan kehidupan masyarakat untuk lebih maju, mandiri, dan dapat berdampingan dengan bangsa lain dan dapat mempercepat terwujudnya pembangunan berkelanjutan;
e. bahwa dalam mewujudkan pertumbuhan penduduk yang seimbang dan keluarga berkualitas dilakukan upaya pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian, pengarahan mobilitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk pada seluruh dimensinya, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, penyiapan dan pengaturan perkawinan serta kehamilan sehingga penduduk menjadi sumber daya manusia yang tangguh bagi pembangunan dan ketahanan nasional, serta mampu bersaing dengan bangsa lain, dan dapat menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata;
f. bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera belum mengatur secara menyeluruh mengenai kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan perkembangan kondisi saat ini pada tingkat nasional dan internasional sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), Pasal 26 ayat (3), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28J ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
2. Kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat.
3. Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah upaya terencana untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk.
4. Perkembangan kependudukan adalah kondisi yang berhubungan dengan perubahan keadaan kependudukan yang dapat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keberhasilan pembangunan berkelanjutan.
5. Kualitas penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak.
6. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
7. Pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat.
8. Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.
9. Pengaturan kehamilan adalah upaya untuk membantu pasangan suami istri untuk melahirkan pada usia yang ideal, memiliki jumlah anak, dan mengatur jarak kelahiran anak yang ideal dengan menggunakan cara, alat, dan obat kontrasepsi.
10. Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
11. Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisikmateril guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
12. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan terencana di segala bidang untuk menciptakan perbandingan ideal antara perkembangan kependudukan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan dan kebutuhan generasi mendatang, sehingga menunjang kehidupan bangsa.
13. Penduduk rentan adalah penduduk yang dalam berbagai matranya tidak atau kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya sebagai akibat dari keadaan fisik dan/atau non fisiknya.
14. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
BAB II
ASAS, PRINSIP DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berasaskan norma agama, perikemanusiaan,keseimbangan, dan manfaat.
Bagian Kedua
Prinsip
Pasal 3
Perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga berdasarkan prinsip pembangunan kependudukan yang terdiri atas:
a. kependudukan sebagai titik sentral kegiatan pembangunan;b. pengintegrasian kebijakan kependudukan ke dalam pembangunan sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup;
c. partisipasi semua pihak dan gotong royong;d. perlindungan dan pemberdayaan terhadap keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat;
e. kesamaan hak dan kewajiban antara pendatang dan penduduk setempat;
f. perlindungan terhadap budaya dan identitas penduduk lokal; dan
g. keadilan dan kesetaraan gender.
Bagian Ketiga
Tujuan
Pasal 4
(1) Perkembangan kependudukan bertujuan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan lingkungan hidup.
(2) Pembangunan keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat timbul rasa aman, tenteram, dan harapan masa depan yang lebih baik dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN PENDUDUK
Bagian Kesatu
Hak Penduduk
Pasal 5
Dalam penyelenggaraan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, setiap penduduk mempunyai hak:
a. membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;b. memenuhi kebutuhan dasar agar tumbuh dan berkembang serta mendapat perlindungan bagi pengembangan pribadinya untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya;
c. mendapatkan informasi, perlindungan, dan bantuan untuk mewujudkan hak-hak reproduksi sesuai dengan etika sosial dan norma agama;
d. berkomunikasi dan memperoleh informasi kependudukan dan keluarga yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya;
e. mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga dengan menggunakan sarana yang tersedia;
f. mengembangkan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga;
g. bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia;
h. mendapatkan perlindungan, untuk mempertahankan keutuhan, ketahanan, dan kesejahteraan keluarga;
i. menetapkan keluarga ideal secara bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, dan umur melahirkan;
j. membesarkan, memelihara, merawat, mendidik, mengarahkan dan membimbing kehidupan anaknya termasuk kehidupan berkeluarga sampai dengan dewasa;
k. mengangkat anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;l. mewujudkan hak reproduksinya dan semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya;
m. hidup di dalam tatanan masyarakat yang aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi, dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia;
n. mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat;o. memperjuangkan pengembangan dirinya baik secara pribadi maupun kelompok untuk membangun bangsa dan negara;
p. memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya;q. mendapatkan identitas kewarganegaraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
r. memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
s. diperhitungkan dalam penyusunan, pelaksanaan, evaluasi perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga; dan
t. memperoleh kebutuhan pangan, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, keterampilan dan bantuan khusus atas biaya negara bagi penduduk rentan.
Bagian Kedua
Kewajiban Penduduk
Pasal 6
Setiap penduduk wajib:a. menghormati hak-hak penduduk lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. berperan serta dalam pembangunan kependudukan;
c. membantu mewujudkan perbandingan yang ideal antara perkembangan kependudukan dan kualitas lingkungan, sosial dan ekonomi;
d. mengembangkan kualitas diri melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, ketahanan dan kesejahteraan keluarga; serta
e. memberikan data dan informasi kependudukan dan keluarga yang diminta oleh Pemerintah dan pemerintah daerah untuk pembangunan kependudukan sepanjang tidak melanggar hak–hak penduduk.
BAB IV
KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Kewenangan Pemerintah
Pasal 7
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang yang berkaitan dengan pengelolaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
(2) Kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dalam pembangunan jangka menengah dan jangka panjang nasional.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
(2) Kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada kebijakan nasional.
(3) Kebijakan dan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pemerintah daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal 9
Untuk melaksanakan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dilakukan:
a. pengumpulan, pengolahan, analisis, evaluasi, penelitian, pengembangan, dan penyebarluasan informasi tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga;
b. perkiraan secara berkelanjutan dan penetapan sasaran perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga; dan
c. pengendalian dampak pembangunan terhadap perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga serta lingkungan hidup.
Pasal 10
(1) Untuk melaksanakan kebijakan dan program jangka menengah dan jangka panjang dilakukan melalui pelaksanaan rencana kerja tahunan.
(2) Rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penggalangan peran serta individu, keluarga, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, swasta, dan penyandang dana pembangunan yang bersifat tidak mengikat dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga;
b. advokasi dan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga kepada seluruh komponen perencana dan pelaksana pembangunan serta keluarga, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, swasta, dan penyandang dana pembangunan yang bersifat tidak mengikat; dan
c. penyediaan pelayanan cuma-cuma yang berkaitan dengan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga bagi keluarga miskin.
Bagian Kedua
Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
Pasal 12
(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam:a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan pedoman yang meliputi norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. memberikan pembinaan, bimbingan, supervisi, dan fasilitasi; dan
d. sosialisasi, advokasi, dan koordinasi; pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah provinsi bertanggung jawab dalam:a. menetapkan kebijakan daerah;
b. memfasilitasi terlaksananya pedoman meliputi norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. memberikan pembinaan, bimbingan dan supervisi; dan
d. sosialisasi, advokasi, dan koordinasi; pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakat setempat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 14
(1) Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab dalam:a. menetapkan pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga di kabupaten/kota; dan
b. sosialisasi, advokasi, dan koordinasi pelaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan kemampuan masyarakat setempat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Pembiayaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga secara nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Alokasi anggaran disediakan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
Pasal 16
(1) Pembiayaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga di daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Alokasi anggaran disediakan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dalam perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
(3) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksudpada ayat (2) ditetapkan bersama oleh pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
BAB VI
PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
Perkembangan kependudukan dilakukan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan persebaran penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan
guna menunjang pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan.Bagian Kedua
Pengendalian Kuantitas Penduduk
Paragraf 1
Umum
Pasal 18
Pengendalian kuantitas penduduk dilakukan untuk mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara jumlah penduduk dengan lingkungan hidup baik yang berupa daya dukung alam maupun daya tampung
lingkungan serta kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya.Pasal 19
(1) Pengendalian kuantitas penduduk berhubungan dengan penetapan perkiraan:a. jumlah, struktur, dan komposisi penduduk;
b. pertumbuhan penduduk; dan
c. persebaran penduduk.
(2) Pengendalian kuantitas penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan melalui:
a. pengendalian kelahiran;b. penurunan angka kematian; dan
c. pengarahan mobilitas penduduk.
(3) Pengendalian kuantitas penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tingkat nasional dan daerah secara berkelanjutan.
(4) Tata cara penetapan pengendalian kuantitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Keluarga Berencana
Pasal 20
Untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan keluarga berkualitas, Pemerintah menetapkan kebijakankeluarga berencana melalui penyelenggaraan program keluarga berencana.
Pasal 21
(1) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami istri dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab tentang:
a. usia ideal perkawinan;b. usia ideal untuk melahirkan;
c. jumlah ideal anak;
d. jarak ideal kelahiran anak; dan
e. penyuluhan kesehatan reproduksi.
(2) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. mengatur kehamilan yang diinginkan;b. menjaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu, bayi dan anak;
c. meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi;
d. meningkatkan partisipasi dan kesertaan pria dalam praktek keluarga berencana; dan
e. mempromosikan penyusuan bayi sebagai upaya untuk menjarangkan jarak kehamilan.
(3) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengandung pengertian bahwa dengan alasan apapun promosi aborsi sebagai pengaturan kehamilan dilarang.
Pasal 22
(1) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan melalui upaya:a. peningkatan keterpaduan dan peran serta masyarakat;
b. pembinaan keluarga; dan
c. pengaturan kehamilan dengan memperhatikan agama, kondisi perkembangan sosial ekonomi dan budaya, serta tata nilai yang hidup dalam masyarakat.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan komunikasi, informasi dan edukasi.(3) Kebijakan keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi dengan cara:
a. menyediakan metode kontrasepsi sesuai dengan pilihan pasangan suami istri dengan mempertimbangkan usia, paritas, jumlah anak, kondisi kesehatan, dan norma agama;
b. menyeimbangkan kebutuhan laki-laki dan perempuan;c. menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan mudah diperoleh tentang efek samping, komplikasi, dan kegagalan kontrasepsi, termasuk manfaatnya dalam pencegahan penyebaran virus penyebab penyakit penurunan daya tahan tubuh dan infeksi menular karena hubungan seksual;
d. meningkatkan keamanan, keterjangkauan, jaminan kerahasiaan, serta ketersediaan alat, obat dan cara kontrasepsi yang bermutu tinggi;
e. meningkatkan kualitas sumber daya manusia petugas keluarga berencana;
f. menyediakan pelayanan ulang dan penanganan efek samping dan komplikasi pemakaian alat kontrasepsi;g. menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi esensial di tingkat primer dan komprehensif pada tingkat rujukan;
h. melakukan promosi pentingnya air susu ibu serta menyusui secara ekslusif untuk mencegah kehamilan 6 (enam) bulan pasca kelahiran, meningkatkan derajat kesehatan ibu, bayi dan anak; dan
i. melalui pemberian informasi tentang pencegahan terjadinya ketidakmampuan pasangan untuk mempunyai anak setelah 12 (dua belas) bulan tanpa menggunakan alat pengaturan kehamilan bagi pasangan suamiisteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai akses, kualitas, informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan alat kontrasepsi sebagaimana diatur pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Pasal 24
(1) Pelayanan kontrasepsi diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna serta diterima dan dilaksanakan secara bertanggung jawab oleh pasangan suami isteri sesuai dengan pilihan dan mempertimbangkan kondisi kesehatan suami atau isteri.
(2) Pelayanan kontrasepsi secara paksa kepada siapa pun dan dalam bentuk apa pun bertentangan dengan hak asasi manusia dan pelakunya akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma budaya, etika, serta segi kesehatan.
Pasal 25
(1) Suami dan/atau isteri mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam melaksanakan keluarga berencana.
(2) Dalam menentukan cara keluarga berencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib menyediakan bantuan pelayanan kontrasepsi bagi suami dan isteri.
Pasal 26
(1) Penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan dilakukan atas persetujuan suami dan istri setelah mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu.
(2) Tata cara penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut standar profesi kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan.
Pasal 27
Setiap orang dilarang memalsukan dan menyalahgunakan alat, obat, dan cara kontrasepsi di luar tujuan dan prosedur yang ditetapkan.
Pasal 28
Penyampaian informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara kontrasepsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan tenaga lain yang terlatih serta dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak.Pasal 29
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur pengadaan dan penyebaran alat dan obat kontrasepsi berdasarkan keseimbangan antara kebutuhan, penyediaan, dan pemerataan pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan alat dan obat kontrasepsi bagi penduduk miskin.
(3) Penelitian dan pengembangan teknologi alat, obat, dan cara kontrasepsi dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dan/atau masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.Bagian Ketiga
Penurunan Angka Kematian
Pasal 30
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan penurunan angka kematian untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan berkualitas pada seluruh dimensinya.
(2) Kebijakan penurunan angka kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian prioritas pada:
a. penurunan angka kematian ibu waktu hamil;b. ibu melahirkan;
c. pasca persalinan; dan
d. bayi serta anak.
(3) Kebijakan penurunan angka kematian sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma agama.
Pasal 31
Kebijakan penurunan angka kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilaksanakan dengan memperhatikan:
a. kesamaan hak reproduksi pasangan suami istri;b. keseimbangan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi bagi ibu, bayi dan anak;
c. pencegahan dan pengurangan risiko kesakitan dan kematian;d. partisipasi aktif keluarga dan masyarakat.
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pengumpulan data dan analisis tentang angka
kematian sebagai bagian dari perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga.
(2) Pemerintah wajib melakukan penyusunan pedoman
dan pelaporan pemantauan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengumpulan data
dan proyeksi kependudukan tentang angka
kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Mobilitas Penduduk
Pasal 33
(1) Pemerintah menetapkan kebijakan pengarahan
mobilitas penduduk dan/atau penyebaran
penduduk untuk mencapai persebaran penduduk
yang optimal, didasarkan pada keseimbangan antara
jumlah penduduk dengan daya dukung alam dan
daya tampung lingkungan.
(2) Kebijakan pengarahan mobilitas penduduk
dan/atau penyebaran penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi mobilitas internal
dan mobilitas internasional dilaksanakan pada
tingkat nasional dan daerah serta ditetapkan secara
berkelanjutan.
(3) Pengarahan mobilitas penduduk internal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3 ()2 P) emneglaipruahtia: n . . .
- 24 -
a. pengarahan mobilitas penduduk yang bersifat
permanen dan nonpermanen;
b. pengarahan mobilitas penduduk dan persebaran
penduduk ke daerah penyangga dan ke pusat
pertumbuhan ekonomi baru dalam rangka
pemerataan pembangunan antar provinsi;
c. penataan persebaran penduduk melalui
kerjasama antar daerah;
d. pengarahan mobilitas penduduk dari perdesaan
ke perkotaan (urbanisasi); dan
e. penyebaran penduduk ke daerah perbatasan
antar negara dan daerah tertinggal serta pulaupulau
kecil terluar.
(4) Pengarahan mobilitas penduduk internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui kerjasama internasional dengan negara
pengirim dan penerima migran internasional ke dan
dari Indonesia sesuai dengan perjanjian
internasional yang telah diterima dan disepakati
oleh Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarahan
mobilitas penduduk diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 34
Kebijakan mobilitas penduduk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 dilaksanakan dengan menghormati hak
penduduk untuk bebas bergerak, berpindah, dan
bertempat tinggal dalam wilayah Negara Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 35
Pasal 35 . . .
- 25 -
(1) Pemerintah daerah menetapkan kebijakan mobilitas
penduduk.
(2) Kebijakan mobilitas penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sepanjang tidak
bertentangan dengan kebijakan nasional.
Pasal 36
(1) Perencanaan pengarahan mobilitas penduduk
dan/atau penyebaran penduduk dilakukan dengan
menggunakan data dan informasi dan persebaran
penduduk dengan memperhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah.
(2) Pengembangan sistem informasi kesempatan kerja
yang memungkinkan penduduk untuk melakukan
mobilitas ke daerah tujuan sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya.
Pasal 37
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pengumpulan data, analisis, serta proyeksi angka
mobilitas dan persebaran penduduk sebagai bagian
dari pengelolaan kependudukan dan pembangunan
keluarga.
(2) Pemerintah wajib melakukan penyusunan pedoman
dan pelaporan pemantauan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengumpulan data,
analisis, mobilitas dan persebaran penduduk
sebagai bagian dari perkembangan kependudukan
dan pembangunan keluarga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
- 26 -
Pengembangan Kualitas Penduduk
Paragraf 1
Umum
Pasal 38
(1) Untuk mewujudkan kondisi perbandingan yang
serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan
kependudukan dengan lingkungan hidup yang
meliputi, baik daya dukung alam maupun daya
tampung lingkungan dilakukan melalui
pengembangan kualitas penduduk, baik fisik
maupun nonfisik.
(2) Pengembangan kualitas penduduk dilakukan untuk
mewujudkan manusia yang sehat jasmani dan
rohani, cerdas, mandiri, beriman, bertakwa,
berakhlak mulia, dan memiliki etos kerja yang tinggi.
(3) Pengembangan kualitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui peningkatan:
a. kesehatan;
b. pendidikan;
c. nilai agama;
d. perekonomian; dan
e. nilai sosial budaya.
(4) Pengembangan kualitas penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah bersama
masyarakat melalui pembinaan dan pemenuhan
pelayanan penduduk.
(5) Pembinaan . . .
- 27 -
(5) Pembinaan dan pelayanan penduduk sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui
komunikasi, informasi, dan edukasi, serta
penyediaan prasarana dan jasa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
kualitas penduduk diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 2
Penduduk Rentan
Pasal 39
(1) Untuk mengembangkan potensi optimal dari semua
penduduk secara merata, Pemerintah memberikan
kemudahan dan perlindungan terhadap penduduk
rentan.
(2) Pemerintah menetapkan kebijakan tentang
pengembangan potensi penduduk rentan yang
timbul sebagai akibat:
a. perubahan struktur;
b. komposisi penduduk;
c. kondisi fisik ataupun nonfisik penduduk rentan;
d. keadaan geografis yang menyebabkan penduduk
rentan sulit berkembang; dan
e. dampak negatif yang muncul sebagai akibat dari
proses pembangunan dan bencana alam.
Pasal 40
Pengembangan potensi penduduk rentan dilaksanakan
melalui perawatan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
dan pelatihan atas biaya negara.
Pasal 41 . . .
- 28 -
Pasal 41
(1) Pemerintah menjamin kebutuhan dasar bagi
penduduk miskin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penduduk
miskin dan tata cara perlindungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Pengembangan wawasan kependudukan merupakan
upaya peningkatan pemahaman mengenai pembangunan
kependudukan yang berkelanjutan untuk mewujudkan
penduduk yang berkualitas.
Pasal 43
(1) Pengembangan wawasan kependudukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dapat
dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat baik
secara sendiri maupun bersama-sama.
(2) Pelaksanaan pengembangan wawasan
kependudukan dilakukan melalui pemberian
informasi, pendidikan, dan penyediaan sarana dan
prasarana yang berkaitan dengan pembangunan
kependudukan.
Bagian Keenam
Perencanaan Kependudukan
Pasal 44
Perencanaan kependudukan merupakan proses
penyiapan seperangkat keputusan tentang perubahan
kondisi kependudukan yang diinginkan pada masa yang
akan datang yang meliputi aspek kuantitas, kualitas, dan
mobilitas penduduk.
Pasal 45 . . .
- 29 -
Pasal 45
Perencanaan kependudukan dilakukan dengan
menetapkan sasaran kuantitas, kualitas, dan mobilitas
penduduk beserta langkah pengelolaan perkembangan
penduduk di suatu daerah pada masa yang akan datang.
Pasal 46
(1) Perencanaan kependudukan dilakukan pada lingkup
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dengan
periode jangka menengah dan/atau jangka panjang.
(2) Perencanaan kependudukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diarahkan untuk menghasilkan
rencana strategis untuk pengelolaan kuantitas,
kualitas dan mobilitas penduduk.
(3) Rencana strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib diintegrasikan dan diimplementasikan
ke dalam sistem perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pembangunan daerah dan sektoral.
(4) Waktu penyusunan perencanaan kependudukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
selambat-lambatnya bersamaan dengan waktu
perencanaan pembangunan jangka menengah
dan/atau jangka panjang.
(5) Pengaturan lebih lanjut mengenai pedoman
perencanaan kependudukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
BAB VII . . .
- 30 -
BAB VII
PEMBANGUNAN KELUARGA
Pasal 47
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan
kebijakan pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
(2) Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk mendukung keluarga agar
dapat melaksanakan fungsi keluarga secara optimal.
Pasal 48
(1) Kebijakan pembangunan keluarga melalui
pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dilaksanakan dengan cara:
a. peningkatan kualitas anak dengan pemberian
akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan
pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan
perkembangan anak;
b. peningkatan kualitas remaja dengan pemberian
akses informasi, pendidikan, konseling, dan
pelayanan tentang kehidupan berkeluarga;
c. peningkatan kualitas hidup lansia agar tetap
produktif dan berguna bagi keluarga dan
masyarakat dengan pemberian kesempatan
untuk berperan dalam kehidupan keluarga;
d. pemberdayaan keluarga rentan dengan
memberikan perlindungan dan bantuan untuk
mengembangkan diri agar setara dengan
keluarga lainnya;
e. peningkatan kualitas lingkungan keluarga;
f. peningkatan . . .
- 31 -
f. peningkatan akses dan peluang terhadap
penerimaan informasi dan sumber daya ekonomi
melalui usaha mikro keluarga;
g. pengembangan cara inovatif untuk memberikan
bantuan yang lebih efektif bagi keluarga miskin;
dan
h. penyelenggaraan upaya penghapusan
kemiskinan terutama bagi perempuan yang
berperan sebagai kepala keluarga.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
kebijakan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan
peraturan menteri yang terkait sesuai dengan
kewenangannya.
BAB VIII
DATA DAN INFORMASI KEPENDUDUKAN
Pasal 49
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data
dan informasi mengenai kependudukan dan
keluarga.
(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui sensus, survei, dan pendataan
keluarga.
(3) Data dan informasi kependudukan dan keluarga
wajib digunakan oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah sebagai dasar penetapan kebijakan,
penyelenggaraan, dan pembangunan.
Pasal 50 . . .
- 32 -
Pasal 50
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah
menyelenggarakan dan mengembangkan sistem
informasi kependudukan dan keluarga secara
berkelanjutan serta wajib mendukung terkumpulnya
data dan informasi yang diperlukan.
(2) Pemerintah daerah wajib melaporkan data dan
informasi kependudukan dan keluarga kepada
Pemerintah.
(3) Pemerintah wajib menyebarluaskan kembali data
dan informasi yang terkumpul pada tingkat nasional
untuk dipisah-pisahkan dan dianalisis untuk
keperluan perbandingan pengelolaan kependudukan
antardaerah dalam bentuk laporan neraca
kependudukan dan pembangunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
sistem informasi kependudukan dan keluarga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesetaraan
gender, pengumpulan, analisis, dan penyebaran
informasi tentang kependudukan dan keluarga harus
mempertimbangkan jenis kelamin.
Pasal 52
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pengumpulan data, analisis, dan proyeksi angka
kelahiran sebagai bagian dari pengelolaan kependudukan
dan pembangunan keluarga.
BAB IX . . .
- 33 -
BAB IX
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 53
(1) Dalam rangka pengendalian penduduk dan
pembangunan keluarga dengan Undang-Undang ini
dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional yang selanjutnya disingkat
BKKBN.
(2) BKKBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga pemerintah nonkementerian
yang berkedudukan di bawah Presiden dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 54
(1) Dalam rangka pengendalian penduduk dan
penyelenggaraan keluarga berencana di daerah,
pemerintah daerah membentuk Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah
yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.
(2) BKKBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki
hubungan fungsional dengan BKKBN.
Pasal 55
(1) BKKBN berkedudukan di ibu kota Negara Republik
Indonesia.
(2) BKKBD . . .
- 34 -
(2) BKKBD berkedudukan di ibu kota Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Tugas dan Fungsi
Pasal 56
(1) BKKBN bertugas melaksanakan pengendalian
penduduk dan menyelenggarakan keluarga
berencana.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), BKKBN mempunyai fungsi:
a. perumusan kebijakan nasional;
b. penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria;
c. pelaksanaan advokasi dan koordinasi;
d. penyelenggaraan komunikasi, informasi, dan
edukasi;
e. penyelenggaraan pemantauan dan evaluasi; dan
f. pembinaan, pembimbingan, dan fasilitasi;
di bidang pengendalian penduduk dan
penyelenggaraan keluarga berencana.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan
susunan organisasi BKKBN diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 57
(1) BKKBD mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan
pengendalian penduduk dan menyelenggarakan
keluarga berencana di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota.
(2) Kewenangan BKKBD dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan . . .
- 35 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan
susunan organisasi BKKBD diatur dengan Peraturan
Daerah.
BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 58
(1) Setiap penduduk mempunyai kesempatan untuk
berperan serta dalam pengelolaan kependudukan
dan pembangunan keluarga.
(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh individu, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, dan pihak swasta.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992
tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 35, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3475)
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
BAB XII . . .
- 36 -
Pasal 60
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3475) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 61
(1) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang
dibentuk berdasarkan peraturan perundangundangan
sebelum diberlakukannya Undang-
Undang ini, dinyatakan sebagai BKKBN berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2) BKKBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 62
Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan
Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu)
tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
Pasal 63
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Agar . . .
- 37 -
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 161
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan